![]() |
Tindakan subyektif kesepakatan nikah harus merupakan tindakan manusiawi. Maka harus secara sadar dan bebas. |
Kesepakatan yang tidak mencukupi
KESEPAKATAN atau konsensus adalah faktor kunci yang
menjadi lahirnya suatu perkawinan. Hal itu berarti bahwa terjadi
kesepakatan antara kedua mempelai untuk saling memberi diri dan menerima
dengan tujuan membentuk persekutuan hidup suami isteri suatu hubungan
khusus yang timbul dari kesepakatan itu. Mereka terikat dengan
kesepakatan itu sampai kematian memisahkannya.
Seperti yang kita ketahui bahwa kesepakatan nikah diungkapan secara
lahiriah dan jika salah satu mempelai tidak bermaksud memberikan diri
dan menerima pihak lain untuk membentuk persekutuan hidup suami isteri,
maka terjadilah simulasi penuh dan kesepakatan yang dibuat dengan
sendirinya tidak sah.
Seseorang dapat menjalankan perkawinan tanpa bermaksud meneriman
kewajiban setia dalam perkawinan atau mempertahankan untuk dirinya untuk
mengusahakan perceraian jika perkawinan itu ternyata tidak
menyenangkan. Dalam perkara perkara semacam itu ada kehendak khusus yang
menggagalkan kesepakatan nikah. Semua perkara di atas menyangkut cacat
dalam kesepakatan. Tetapi cacat perkawinan bisa juga menjadi cacat
dengan cara lain yakni jika dalam dirinya sendiri tidak mencukupi.
Apa artinya tidak mencukupi?

Beberapa hal petunjuk.
Jika kita menemukan perkara perkawinan yang tidak diinginkan terjadi
tetapi tidak dapat dihindari, di mana dalam perkawinan itu tidak ada
atau hampir tak ada usaha untuk membentuk persekutuan hidup suami isteri
(putus tak beberapa lama setelah perkawinan), maka perkara semacam ini
harus dikirim ke pengadilan gerejawi. Supaya diperhatikan bahwa dalam
kalangan masyarakat tertentu ada tradisi yang menganggap bahwa anak
perempuan termuda menjadi milik keluarga dan harus memelihara orang
tuanya di masa tua, bahkan mendapat warisan dari mereka. Anak perempuan
semacam ini bisa menjalankan upacara tanpa kehendaknya pribadi secara
sungguh untuk membentuk persekutuan hidup suami-siteri tapi semata-mata
untuk mendapatkan laki-laki dan mempunyai anak (karena norma adat).
Itulah artinya perkawinan berlangsung dengan tidak mencukupi.
Kurangnya pertimbangan
Tindakan subyektif kesepakatan nikah harus merupakan tindakan
manusiawi. Maka harus secara sadar dan bebas. Karena itu keputusan
menikah haruslah dipertimbangkan secara matang tidak gegabah, ngawur
asal menikah (waspadalah bagi orang muda). Seseorang mengambil keputusan
terjadi melalui proses dimana pikiran yang membuat penilaian evaluatif
tentang rentetan tindakan yang harus dilakukan menampilkan cocok atau
tidaknya untuk irang itu sekarang ini dan saat ini. Jika rentetan
tindakan yang ditampilkan dipandang cocok lalu hal itu akan dimunculkan
dalam kehendak sedemikian rupa dan kehendak memilih asalkan kehendak
menikmati kemerdekaan dari dalam yang biasanya memang demikian.
Namun kebebasan memilih yang harus dinikmati kehendak supaya bisa
melaksanakan tindakan manusiawi bisa diambil tak hanya oleh dorongan
dari dalam tapi juga karena pengaruh dari luar.
Salah satu pengaruh luar
semacam itu adalah rasa takut besar yang menggagalkan dalam dirinya,
tetapi itu bukan satu-satunya. Jika segala sesuatu telah diatur
sedemikian rupa sehingga seseorang tidak mempunyai pilihan lain selain
menikah, kebebasan memilih bisa dikurangi sehingga menjadikan
kesepakatan yang diberikan secara intrinsik menjadi cacat.
Kesepakatan nikah harus sungguh menjadi tindakan manusiawi, oleh
karena itu suatu tindakan yang sadar dan bebas. Kebebasan itu dikurangi
jika kemampuan orang memilih tetap dihalangi. Kebebasan ini secara pasti
disebut dari pelaku yang bebas dari ketakutan yang mengancam. Demikian
juga ia harus bebas dari pengaruh luar hingga sampai pada keputusan yang
tidak bisa dibatalkan dan harus dilaksanakannya. Dalam perkara semacam
ini ketakutan akan nasib malang dan membawa kerugian serius di masa
mendatang akan muncul juga tetapi alasan untuk nullitas atas dasar
kesepakatn nikah harus dicari di tempat lain yakni cacat intrinsik
seturut kan 1105. Cacat itu bisa menjadi lebih serius jika ada situasi
tambahan khusus yang berciri subyektif atau obyektif. Misalnya ada
seorang gadis yang muda taat namun belum matang diharuskan memilih untuk
perkawinan tanpa ketetapan hati, bisa saja tanpa pertimbangan yang
cukup mengharuskan dia untuk memilih. Hal semacam itu bukan digolongkan
paksaan fisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar