Perkawinan diatur oleh hukum Ilahi
Cikino pemuda Katolik telah berpacaran dengan
Cikini gadis beragama Islam selama 3 tahun. Mereka merasa mantap untuk
melanjutkan tali cinta mereka ke jenjang perkawinan. Tapi sayang, beda
agama membuat mereka ragu apakah bisa perkawinan mereka diresmikan
secara kanonik dan dipertahankan? Si gadis Cikini tetap kukuh dengan
agama yang dianutnya sebagai muslimah, sementara Cikino tetap Katolik
dan mau agar perkawinan diteguhkan secara Katolik. Apa dasar perkawinan
mereka agar dapat disahkan secara kanonik? Apakah bisa mereka secara
kanonik menerima peneguhan di dalam Gereja Katolik bagaimana dengan
Cikini yang masih muslim yang tidak percaya (beriman) atas doa dan
upacara perkawinan gerejani?
Perkawinan orang-orang Katolik meskipun hanya
satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi melainkan
juga oleh hukum kanonik (gereja), dengan tetap berlaku kewenangan kuasa
sipil mengenai akibat-akibat yang semata-mata sipil dari perkawinan itu.
Dalam kodeks baru KHK 1983, kanon 11 dinyatakan bahwa: “Yang terikat
oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis
di dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan yang menggunakan
akal budinya dengan cukup dan jika dalam hukum dengan jelas tidak
ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun”. Jadi hanya mereka
yang dibaptis dalam atau telah diterima dalam Gereja Katolik adalah
subyek hukum gereja. Maka jika ada dua orang dibaptis non-Katolik
menikah mereka bukan subyek hukum perkawinan gereja. Tetapi jika salah
satunya adalah Katolik sementara yang lain bukan, maka yang Katolik
dimasukkan dalam hukum gereja. Sebab kontrak itu tidak boleh pincang
sebagaimana dikatakan oleh para ahli hukum gereja.
Hukum yang mengatur perkawinan
Sebelum diberlakukannya kodeks baru yakni
sebelum tgl 27 November 1983, perkawinan antara dua orang non baptis
diatur oleh hukum ilahi dan hukum gereja. Tetapi menurut kodeks yang
baru 1983, perkawinan semacam itu bukan lagi diatur oleh hukum gereja
yang semata-mata gerejawi. Perkawinan antara dua orang yang salah satu
pihak telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima dan tidak
meninggalkannya dengan tindakan formal dengan pihak lain tidak dibaptis
adalah tidak sah (bdk. kan.1086, §1). Perkawinan itu menjadi sah kanonik
jika mendapat kemurahan dari Ordinaris wilayah berupa dispensasi atas
halangan tersebut dengan dipenuhinya syarat-syarat yang disebut dalam
kanon 1125 dan 1126 (mohon dibaca dari KHK 1983).
Dari perkawinan campur itu, maka hak dan
kewajibannya bersumber secara kodrati dari ikatan perkawinan yang tidak
semuanya sama. Sebagian bersumber secara kodrati dari ikatan perkawinan
menurut tata penciptaan; seperti hak-hak untuk melaksanakan tugas
suami-isteri, kewibawaan dan tanggungjawab untuk mendidik anak. Ada pula
akibat lain yang bersumber dari ikatan perkawinan, tetapi cenderung
termasuk dalam tatanan sosial; seperti hidup bersama, biaya hidup dan
ini yang disebut sebagai efek sipil. Yang terakhir ini sering berbeda
antara satu negara dengan yang lain seperti hak dan warisan. Meskipun
demikian perkawinan yang telah eksis dan sah itu harus tetap
dipertahankan.
Perkawinan yang terjadi perlu dipertahankan
Kanon 1060: “perkawinan mendapat perlindungan
hukum, karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya
perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya”
Kanon ini mau menyatakan bahwa kebahagiaan
bersama mengandaikan adanya stabilitas perkawinan dan hukum yang membela
hal itu. Hal itu dilaksanakan dengan beberapa cara. terutama dengan
menerapkan pada perkawinan. Prinsip yang selalu diberlakukan oleh hukum
pada suatu perbuatan iuridis; yakni jika sebuah tindakan telah dilakukan
dengan pasti hal itu harus diandaikan sudah dilaksanakan secara sah.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di mana muncul keraguan akan
keabsahan suatu perkawinan, hukum mengambil sikap bahwa perkawinan itu
telah dilaksanakan secara sah, dan dengan demikian membela keabsahannya
sampai ketidakabsahan itu terbukti.
Pengandaian ini berlaku untuk semua
perkawinan yang dilaksanakan dengan tata peneguhan yang legitim. Tetapi
hal itu tidak berlaku untuk sebuah perkawinan yang dilaksanakan oleh
seorang Katolik yang tidak menggunakan tata peneguhan kanonik dan tidak
mendapat dispensasi dari keharusan itu. Persatuan cinta antara dua orang
semacam itu, tidak mencerminkan sebuah perkawinan menurut hukum Gereja.
Dari sebab itu, perkawinan yang sah dan
kanonik mesti dipertahankan sampai akhir hidup. Salah satu kunci
mempertahankan perkawinan adalah membangun cinta; menumbuhkan iman;
membangun saling percaya; keintiman; mengatur ekonomi rumah tangga
dengan baik; kehadiran anak buah perkawinan; menghindari pihak ketiga;
menjaga romantisme; membiasakan berkomunikasi setiap hari secara intens;
saling memuji dan memberi perhatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar