Credit: MirificNews - Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Tata peneguhan kanonik
Tata peneguhan sah bagi orang Katolik adalah
tata peneguhan kanonik, kecuali jika dibebaskan dari kewajiban untuk
menepatinya. Cacat dalam tata penguhan kanonik bisa terjadi jika hanya
ada satu saksi atau jika sang peneguh (pastor) tidak mempunyai
kewenangan, kendati bisa disembuhkan oleh hukum dengan alasan kekeliruan
biasa berdasarkan kan. 144,§ 2: “Norma yang sama (dalam kekeliruan
umum) diterapkan pada kewenangan-kewenangan yang disebutkan dalam kan.
882, 883, 966 dan 1111,§ 1″.
Dalam perkawinan campur beda Agama atau beda
Gereja, jika pihak Katolik mendapat dispensasi dari tata peneguhan
kanonik, suatu tata peneguhan tertentu yang bersifat publik tetap
dituntut. Tetapi bisa terjadi cacat dalam tata peneguhan, jika misalnya
suatu pasangan suami-isteri itu dimana salah satu adalah baptis Katolik
dan yang lain baptis non Katolik; dan mereka telah melaksanakan tata
peneguhan perkawinan secara adat atau sipil, kemudian di Gereja
dilaksanakan konvalidasi perkawinan yang upacaranya hanya dianggap
sebagai berkat saja, sebagaimana sering terjadi.
Kuasa tidak sah dalam perkawinan lewat wali (bdk. kan 1105)
Bisa saja suatu kali muncul sebuah kasus
semacam ini, yakni dimana orang yang ditunjuk menjadi wali tidak
menjalankan tugasnya dan digantikan oleh seseorang.
Kanisius Kramat menikah dengan Kanisia
Sentiong, karena Kramat bekerja di luar negeri, dia berniat menikahi
Sentiong dengan perantaraan seorang wali, sehingga mereka bisa hidup
bersama sebagai suami-isteri. Kramat memilih Vincentius Lima sebagai
wakilnya. Oleh karena itu dia membuat sebuah surat kuasa seturut hukum.
Namun, sebelum perkawinan berlangsung keluarga Kramat bertengkar dengan
keluarga Vicentius Lima. Akibatnya keluarga Kramat memerhitungkan hal
itu dan menunjuk orang lain untuk bertindak sebagai wali dari Kramat.
Pada hari perkawinan Vincentius Lima wakil yang dipilih Kramat diganti
orang lain, Pastor yang meneguhkan perkawinan ditipu tentang identitas
pengganti baru ini dan perkawinan tetap dilaksanakan. Baru setelah
beberapa tahun kemudian perkawinan Kramat dengan Sentiong bubar. Semua
hal itu diketahui, ketika seorang pastor mendengarkan sejarah perkara
itu bertanya apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi pada saat
perkawinan dilangsungkan?
Tidak adanya tata peneguhan kanonik
Perkara semacam itu sering terjadi dan
terjadi karena bermacam-macam alasan misalnya, pihak Katolik telah lama
mogok, atau tidak mengingini perkawinan gerejawi atau tidak mengetahui
keharusan mentaati tata peneguhan kanonik. Contoh: Katarina Cikini yang
lahir dari keluarga tidak baptis , pada waktu kecil dibaptis dalam
Gereja Katolik, karena kedua orang tuanya adalah katekumen. Mereka tidak
bertahan lama dan Katarina Cikini tumbuh dalam agama tradisional
masyarakat tempat ia hidup. Dia menikah dengan Raden Gemblung tidak
baptis, dan perkawinan dilangsungkan menurut hukum adat. Perkawinan itu
akhirnya bubar, lalu Katarina Cikini mulai ke Gereja karena dia suka
menyanyi dalam koor di Gereja. Di sana dia berjumpa dengan seorang
laki-laki Katolik yang ingin menikahinya. Pastor membuat penyelidikan
dan fakta tentang pembaptisan Katarina Cikini diketemukan bahwa adanya
ketidakabsahan perkawinannya dengan Raden Gemblung, karena tidak adanya
tata peneguhan kanonik.
Penanganan perkara
Perkara-perkara yang menyangkut adanya cacat
dalam tata peneguhan perkawinan ditangani lewat proses pengadilan (bdk.
kan. 1671), tetapi perkara tidak adanya tata peneguhan kanonik diurus
secara administratif dan menjadi bagian penyelidikan sebelum perkawinan.
Pastor yang bertanggungjawab untuk menangani perkara tersebut harus
melihat apakah semuanya sudah dipersiapkan ataukah belum, untuk
pembuktian adanya cacat atau tidak adanya tata peneguhan perkawinan.
Penyelidikan yang sungguh-sungguh harus diadakan untuk membuktikan
apakah tata peneguhan kanonik itu diberi dispensasi atau tidak. Jika
dipandang perlu, bisa dipanggil saksi-saksi dan ditanya di bawah sumpah.
Pihak lain dari perkawinan lama tidak harus disebut. Perkara semacam
itu diurus dalam KHK 1983, kanon 1686 dan seterusnya. Izin yang
diberikan oleh ordinaris wilayah untuk perkawinan baru harus dicatat
dalam formulir penyelidikan kanonik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar