Ada bermacam-macam halangan yang menggagalkan perkawinan
•1. Kurangnya umur (bdk. kan 1083):
syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16
tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah.
Tetapi hukum kodrati menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan
mengadakan penilaian secukupnya dan “corpus suo tempore habile ad
matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai tuntutan umur lebih tinggi
untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu
pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah
harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu
bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin semacam itu
juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana orang
tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau
secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1,
no.6).
•2. Impotensi (bdk kan. 1084): Impotensi
itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam
perkawinan. Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan
kepenuhan persatuan hetero seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa
yang menjadi ciri khas perkawinan. Yang membuat khas persatuan hidup
suami istri adalah penyempurnaan hubungan itu lewat tindakan mengadakan
hubungan seksual dalam cara yang wajar. Impotensi yang menggagalkan
perkawinan, haruslah sudah ada sebelum perkawinan dan bersifat tetap.
Pada waktu perkawinan sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi itu
terus menerus dan bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali
dengan operasi tidak berbahaya. Impotensi ada dua jenis: bersifat
absolut dan relatif. Impotensi absolut jika laki-laki atau perempuan
sama sekali impotens. Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan
tertentu ini tidak dapat melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal
absolut orang itu tidak dapat menikah sama sekali, dalam impotensi
relatif pasangan tertentu juga tidak dapat menikah secara sah.
•3. Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan
1085): ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan
karena hukum ilahi. Kan 1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam
hal privilegi iman” (Jika dibandingkan dengan kodeks 1917). Ungkapan ini
berarti jika seorang yang dibaptis menggunakan privilegi iman walau
masih terikat oleh ikatan perkawinan terdahulu, dia bisa melaksanakan
perkawinan secara sah dan ketika perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan
perkawinan lama diputuskan.
•4. Disparitas cultus (bdk. kan
1086): perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis
dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak
meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak
dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan “meninggalkan
Gereja secara formal” berarti melakukan suatu tindakan yang jelas
menunjukkan etikat untuk
tidak menjadi anggota Gereja lagi. Tindakan itu
seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama Kristen, membuat
suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik. Namun
demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi
ke Gereja Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan
tentang norma ini: pertama karena tujuan halangan ini adalah untuk
menjaga iman katolik, tidak ada alasan mengapa orang yang sudah
meninggalkan Gereja harus diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja
tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.
•5. Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka
yang telah menerima tahbisan suci.
•6. Kaul kemurnian dalam suatu tarekat
religius (bdk. kan. 1088): kaul kekal kemurnian secara publik yang
dilaksanakan dalam suatu tarekat religius dapat menggagalkan perkawinan
yang mereka lakukan.
•7. Penculikan dan penahanan (bdk. kan.
1089): antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau
sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada
perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari
penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan
kemauannya sendiri memilih perkawinan itu. Bahkan jika perempuan sepakat
menikah, perkawinan itu tetap tidak sah, bukan karena kesepakatannya
tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan dari si
penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
•8. Kejahatan (bdk. kan. 1090): tidak
sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan
maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap
pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
•9. Persaudaraan (konsanguinitas (bdk.
kan. 1091): alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara
mereka yang berhubungan dalam tingkat ke satu garis lurus bertentangan
dengan hukum kodrati. Hukum Gereja merang perkawinan di tingkat lain
dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan di antara mereka yang
mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan
moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan fisik dan mental anak-anak
mereka.
•10. Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):
hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat
manapun. Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan
sah entah hanya ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul
dari perkawinan sah antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi
halangan pada hukum Gereja bagi pihak yang mempunyai hubungan
kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu.
Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara suami
dengan saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri dengan
saudara-saaudara suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai
kesemendaan dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks
baru 1983 hubungan kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya
dalam garis lurus dalam semua tingkat.
•11. Kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang
dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi
tidak sah karena alasan tertentu, misalanya cacar dalam tata peneguhan.
Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik.
Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa
perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk
melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah.
Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
•12. Adopsi (bdk. kan. 1094): tidak dapat
menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum
yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat
kedua. Menurut norma ini pihak yang mengadopsi dihalangi untuk menikah
dengan anak yang diadopsi, dan anak yang diadopsi dihalangi untuk
menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang mengadopsi
dia. Alasannya karena adposi mereka menjadi saudara-sudari se keturunan.
kesetiaan dalam perkawinan memang tidaklah gampang.... tantangan terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu
BalasHapus