Tugas khas dari Imam
Apa tugas khas dari imam, yang tidak dimiliki
oleh umat lain (bdk. kan. 767)? Kanon 757, menyatakan: “Tugas dari
imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil
Allah; terutama para Pastor Paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa
jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan
kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan
Presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda”. Teks
ini mau menyatakan bahwa tugas pokok dan bersifat khas bagi seorang imam
adalah memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan Sabda Allah
itu merupakan pelaksanaan pewartaan sabda dan secara konkrit melalui
kegiatan homili saat perayaan ekaristi. “Diantara bentuk-bentuk kotbah,
homililah yang opaling unggu yang adalah bagian dari liturgi itu
sendiri” (bdk. kan. 767).
Jadi homili adalah bagian integral dari
perayaan ekaristi (bdk. SC, 35,52; PUMR, 29). Maka kegiatan homili atau
kotbah dalam perayaan ekaristi tidak bisa lepas dari tugas pokok
seorang imam yakni mengajar umat. Melalui liturgi khususnya Perayaan
Ekaristi – kaum beriman dimampukan untuk mengungkapkan dalam kehidupan
mereka serta memperlihatkan kepada orang-orang lain misteri Yesus
Kristus dan hakekat asli dari Gereja yang sejati (bdk. SC, 2).
Homili: bercerita dan bersaksi tentang pribadi Yesus
Homili adalah sebuah pewartaan yang
mengisahkan atau bercerita tentang kisah Yesus dalam perayaan Ekaristi.
Untuk dapat bercerita tentang Yesus kita perlu memiliki pengalaman
pribadi berjumpa dengan Yesus, mengalami pribadi Yesus. Cerita tentang
Yesus akan efektif, kalau cerita itu keluar dari pengalaman hidup
pribadi kita; sebab orang lebih percaya kepada kesaksian hidup daripada
sekedar berkata-kata (bdk. 1Yoh 1:1-4; EN, 41; EA, 42). Dengan bercerita
tentang Yesus, kita mengungkapkan identitas diri kita sebagai umat
kristiani (umat Katolik); dan kita tidak boleh menyembunyikan diri kita
sebagai murid-murid-Nya.
Dengan berada bersama dengan orang-orang
sebangsa, yang dirundung kemiskinan dan hidup dalam pluralitas agama dan
kebudayaan, kita menjadi sungguh-sungguh katolik dan sungguh-sungguh
warga Indonesia. Dengan “berbuat” bagi mereka yang dirundung kemiskinan,
dan hidup dalam pluralitas budaya dan agama, kita semakin menjadi
Kristiani. Maka dalam homili yang
tidak lepas dari kenyataan hidup
konkrit umat, perlulah diperhatikan konteksnya (pendengarnya).
Kontekstualiasi Homili
Dimensi kontekstualisasi homili dalam
perayaan ekaristi sangatlah penting. Umat merasakan kekuatan dari Sabda
Tuhan, jika Sabda yang menjadi warta homili menyentuh kehidupan konkrit.
Jika Sabda Tuhan mengubah perilaku hidup manusia sehingga kehidupan
nyata menjadi sejahtera dan damai. Itulah panggilan dasar Gereja yakni
menjadi terang bagi bangsa-bangsa (bdk. LG, 1). Gereja menerima
perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah dan
mendirikannya di tengah bangsa-bangsa (bdk. LG, 5). Sementara Gereja
membantu dunia atau menerima banyak dari dunia, yang menjadi tujuan
satu-satunya adalah datangnya Kerajaan Allah serta terwujudnya
keselamatan bagi seluruh umat manusia (bdk. GS, 45).
Kontekstualisasi
homili juga melihat kehidupan masyarakat yang ditandai dengan pluralitas
agama dan budaya, serta mayoritas penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Karena itu hidup menggereja dilakukan lewat dialog antar umat beragama,
berinkulturasi dan pembebasan manusia yang seutuhnya dan menyeluruh
aspek bidang kehidupan (bdk. FABC I, 1974; V, 1990). Homili hendaknya
menjadi suara kenabian ketika masyarakat menawari praksis “yang kuat
yang menang, yang bermodal besar (kaum kapitalis) menguasai yang tidak
bermodal kaum miskin)”.
Kita sebagai Gereja perlu memperlihatkan baik
melalui perkataan maupun perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin dan
tersingkir harus didahulukan.” (bdk. Nota Pastoral: Keadaban Publik, KWI
2004, art. 18.1). Ketika masyarakat digiring untuk menyembah uang,
Gereja perlu bersaksi dengan mewartakan Allah yang solider, penuh kasih
dan kerahiman. Melalui homili sebagai bentuk komunikasi iman dalam
perayaan kita dapat mengajak umat beriman untuk melihat kehidupan dalam
terang Sabda Tuhan, dan melakukan pertobatan.
Menyiapkan Homili
Menyiapkan homili tidaklah mudah, perlu
ketekunan dan keseriusan. Bagi seorang pewarta Sabda Tuhan, diperlukan
satu minggu untuk menyiapkan Homili jika hal itu dilakukan oleh Pastor
Paroki yang setiap minggu harus memberi homili pada perayaan ekaristi
bersama umat. Di bawah ini cara menyiapkan homili yang mungkin berguna
bagi para pewarta sabda Tuhan. Persiapan menyampaikan homili terbagi
dalam 2 tahap: persiapan jarak jauh dan jarak dekat.
Persiapan jarak jauh:
meliputi tiga tahap (1) renungan pribadi: melakukan permenungan atas
bacaan Sabda Tuhan dengan tertulis yang menjadi inspirasi homili, (2)
hidup kerohanian pribadi yang mendalam, yang dimaksudkan adalah sebagai
pewarta sabda Tuhan hendaknya memiliki hidup rohani yang matang,
memiliki kebiasaan berdoa dan membaca sabda Tuhan dalam Kitab Suci, (3)
kepribadian dari si homilist (pembawa homili): sangatlah menentukan. Di
sini dibutuhkan integritas kepribadian dari si pewarta sabda Tuhan. Apa
yang saya katakan, juga saya lakukan, berkotbah/berhomili berarti juga
mengandung tuntutan untuk melakukannya.
Persiapan jarak dekat: (a)
membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, (b) menentukan satu tema
berdasarkan hasil permenungan, (c) mendengarkan konteks penerima
(audiens), (d) membaca sumber tambahan (dapat diambil dari ajaran
Gereja, nota pastoral, (e) kesesuaian dengan ajaran KS dan Gereja, (f)
menyusun draft homili, (g) membawakan homili: menentukan metode, sarana,
berdoa sebelum kotbah dan mendengarkan gerakan Roh apa yang hendak
homlist katakan kepada umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar