Membantu Tribunal
Pada tgl 25 Januari 2005, di Roma telah diterbitkan Instrusksi Dignitas Connubii(martabat
mempelai) sebuah instruksi tentang norma-norma yang harus dijalankan di
tiap-tiap Tribunal dalam memroses anulasi perkawinan Gereja. Instruksi
ini disusun oleh Dewan Kepausan untuk teks legislatif dalam kerjasama
dengan Kongregasi Doktrin iman , Kongregasi Sakramen dan Ibadat Ilagi,
Tribunal kepausan Rota Romana dan Segnatura Apostolik.
Maksud sederhana
yang ingin dicapai dari Instruksi Dignitas Connubii ini adalah
memberikan kepada para pelayan keadilan (fungsionaris tribunal
keuskupan), suatu dokumen praktis, semacam vademecum yang menjadi
pegangan bagi mereka agar melaksanakan tugas secara lebih baik dalam
memroses secara kanonik dari nulitas perkawinan. Instruksi ini merupakan
pengulangan instruski provida mater (1936) dengan penambahan
beberapa gagasan seperti Tribunal Gereja Katolik Latin dapat memroses
anulasi perkawinan Gereja ritus Timur (art. 16). Instruksi Dignitas Connubii dipublikasikan
tepat 22 tahun sesudah promulgasi KHK 1983, bukan untuk membandingkan
dengan kodeks melainkan untuk mengumpulkan dan memudahkan konsultasi dan
aplikasinya bagi pelayan keadilan.
Selain dari pada itu instruksi ini
untuk mengintegrasikan perkembangan yuridis yang terjadi dalam periode
sesudah promulgasi kodeks 1983. Sebagaimana lazim tejadi, instruksi ini
tidak hanya mengulang teks kanon-kanon tetapi juga memuat interprestasi,
penjelasan dari apa yang ditetapkan hukum dan tindak lanjut
pelaksanaannya. Dokumen ini juga oleh Takhta Suci untuk melaksanakan
misi universalnya berkaitan dengan administrasi keadilan di seluruh
Gereja khususnya Gereja ritus Latin.
Mencermati alasan proses kanonik nulitas perkawinan
Instruksi ini menekankan perlunya mengajukan
persoalan validitas atau nulitas dari perkawinan seseorang umat beriman
yang meminta keadilan. Praksis peradilan Gereja melalui Tribunal adalah
jalan negatif (via negativa), maka sangat dianjurkan agar Tribunal tidak mudah menerima perkara melainkan pertama mengutamakan jalan positif (via positiva)
melalui pendekatan pastoral untuk rujuk kembali. Tidak semua perkara
yang diakibatkan oleh pertengkaran suami-isteri menjadi pokok sengketa
proses anulasi perkawinan. Jalan positif hendaknya dilakukan secara
proaktif oleh pastor Paroki. Tribunal adalah tempat jalan terakhir bagi
orang yang berperkara karena jalan positif sudah tidak bisa mengatasi
persoalan.
Alasan lain yang perlu dicermati adalah menyerahkan persoalan
yuridis ini kepada pengadilan sipil sementara Gereja menutup diri
terhadap persoalan umatnya. Sebaliknya dengan instruksi ini Gereja
menegaskan lagi kompetensinya menangani kasus-kasus, karena padanya
terpancang eksistensi perkawinan yang sakral. Jika kita tidak terlibat
dalam persoalan ini maka sama artinya kita mengaburkan kesucian
sakramental perkawinan Gereja. Malahan mungkin sulit untuk dipahami di
zaman yang ditandai oleh materialisme-hedonisme masa kini, dimana
terjadi kebingungan tentang identitas kodrati perkawinan dan keluarga,
undang-undang sipil memudahkan perceraian. Lebih celaka lagi kalau
undang-undang sipil meragukan gambaran yang seharusnya tentang
heteroseksualitas perkawinan dan lebih longgar menerima perkawinan
sesama jenis. Gereja akan semakin
terpojok dan mau tidak mau harus
bersikap dan bertindak menyelamatkan kodrat dan ke sakralan perkawinan
Gereja.
Perlu dicermati pula, alasan proses nulitas perkawinan yakni
perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi (personal) dan eksklusif
sehingga validitas ditentukan oleh pribadi mempelai. Hal itu membawa
efek yuridis bahwa mereka dapat leluasa melihat perkawinan sebagai
kontrak dan mudah membuat kontrak baru. Perlu diketahui oleh
fungsionaris Tribunal dan umat beriman bahwa ikatan perkawinan bukan
hanya soal keputusan personal manusiawi belaka melainkan menyangkut
kedua mempelai dan anak-anak yang lahir daripadanya, masyarakat sipil
dan Gereja.
Dengan demikian perkawinan sejalan dengan keyakinan yang
berakar dalam kebudayaan masyarakat yang adalah suatu realitas publik.
Oleh karena itu, mereka yang melakukan perkawinan tidak bisa menyatakan
nulitasnya sendiri. Sebaliknya yang penting adalah kepastian sah dari
kebenaran obyektif mengenai validitas atau nulitas suatu perkawinan.
Persoalan dasar: kebaikan (bonum) tujuan dari perkawinan
Melalui upaya-upaya personal dan
sarana-sarana yang terarah kepada bidang pastoral ini, Gereja hendak
memberikan kontribusinya yang positif untuk mencapai tujuan penting yang
menjadi sentrum dari pontifikat Paus Johanes Paulus II yakni kebaikan
perkawinan dan keluarga. Dalam Familiaris Consortio yang
ditulisnya ditegaskan bahwa mutlak perlu komitmen Gereja, umat beriman
dan semua kehendak baik untuk melindungi dan mempromosikan perkawinan
dan keluarga dalam konteks historis saat ini.
Tekanan hedonisme,
mementingkan diri sendiri dan menempatkan segala sesuatu di bawah
kepuasan diri merupakan tantangan pastoral yang berbahaya untuk masa
kini. Sering orang lupa bahwa penting sekali kesetiaan pada komitmen,
cinta dan keadilan yang dari kodratnya mencakup seluruh hidup:
penyerahan diri timbal balik suami isteri yang terarah kepada
pembentukan keluarga yang terbuka kepada hidup dan bahwa hanya kematian
saja yang memutuskannya (bdk. Kan. 1141).
Dalam konteks mentalitas
perceraian, proses anulasi kanonik dapat dengan mudah disalahpami
sebagai suatu cara mendapatkan perceraian yang disahkan oleh Gereja.
Pada hal perceraian berbeda dengan pembatalan (anulasi). Tidak semua
perkawinan yang gagal bisa dianulasi. Paus setiap kalu dalam amanat
tahunan kepada Rota Romana sering menegaskan pemahaman yang benar dari
nulitas perkawinan yang tak terpisahkan dari penelitian atas kebenaran.
Pernyataan nulitas bukanlah suatu dissolusi dari ikatan perkawinan
tetapi suatu observasi, atas nama Gereja, tentang ketiadaan perkawinan
yang benar sejak permulaan. Karena itu, mutlak perlu untuk menemukan
kembali martabat perkawinan dalam dimensi-dimensi baik kodrati
kemanusiaan dan keselamatan dalam Kristus.
Kepastian moral dan penyelidikan obyektif
Kepastian moral yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah status pikiran, keyakinan dan kesetiaan hakim pada kebenaran
yang nyata dan terbukti dalam peradilan. Kepastian moral bukan cuma
subyektif yang berlandaskan pada pendapat pribadi melainkan secara
obyektif berdasarkan pada kenyataan atau hal-hal yang sudah dijalankan
dan terbukti dalam proses (bdk. Pasal 247 #3). Pasal yang sama dalam
instruksi tersebut menegaskan bahwa untuk menyatakan batal suatu
perkawinan diperlukan kepastian moral dalam diri hakim (bdk. Pasal 247,
§1).
Oleh karena itu, hanya atas dasar ketelitian dan ketajaman dapat
menguji bukti-bukti yang diajukan dalam perkara perkawinan seperti
pernyataan pihak yang berperkara, dokumen-dokumen, para saksi (bdk. Kan.
193-202), pendapat ahli dan presumsi-presumsi, hakim dapat mencapai
kepastian moral tentang perkara yang dipersoalkan sampai menjatuhkan
atau mengeluarkan dekret konfirmatif. Jika hakim sulit mendapatkan
pembuktian penuh, hakim harus melengkapinya dengan saksi-sakasi yang
menguatkan kredibilitas dan kejujuran pihak yang berperkara berkaitan
dengan nulitas perkawinan mereka selain indikasi-indikasi dan
bantuan-bantuan lain (bdk. Pasal 180, §2), sampai pada kepastian moral.
Dalam tegangan antara pencarian kebenaran obyektif yang menjadi tujuan
dan alasan proses dan keadilan yang diperkuat oleh equitas (bdk. Kan
221, §2), menjadi sarana untuk mencapai tujuan ini, instruksi mengambil
bentuk tradisi prosedural kanonik sambil tetap mempertahankan prinsip
dari pengadilan tingkat kedua atau banding (bdk. Pasal 263-289) dan
putusan ganda yang menguatkan (bdk. Pasal 290-294)
Meningkatkan kesungguhan kerja dan kecepatan
Di beberapa keuskupan regio Jawa, Nusra dan keuskupan lain, telah terbentuk tribunal perkawinan. Instruksi Dignitas Connubii penting
untuk dipelajari dan diterapkan di masing-masing keuskupan dalam rangka
meningkatkan kesungguhan kerja dan kecepatan dalam pelayanan (Bahan ini
telah dibahas dalam pertemuan para kanonis regio Nusra di Weetabula
2008). Tidaklah baik jika sudah ada Tribunal dan fungsionarisnya hanya
karena tidak ada kesungguhan lalu tidak menjalankan fungsi secara baik
dalam kasus-kasus perkawinan.
Berkaitan dengan itu Gereja hendak meretas
jalan yang bijak yakni mempertahankan dan meningkatkan kesungguhan dan
kecepatan dalam menangani perkara; memudahkan akses bagi yang berperkara
dan membuat keputusan yang sama dalam prosedural anulasi perkawinan
serta perangkatnya. Tanpa kesungguhan dan kecepatan dalam menangani
perkara, tribunal perkawinan tidak akan mendapat kepercayaan dari umat.
Umat sudah sabar dan terus memohon keadilan sementara cara kerja
tribunal kurang sigap dan lamban. Semoga instruksi Dignitas Connubii menjadi daya dongkrak untuk meningkatkan kinerja tribunal secara lebih baik dan profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar